PENGERTIAN
KONFLIK
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama
manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal,
yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari
kehidupan manusia.Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan.
Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan.
Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan
atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau
lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang
pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik,
yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar
rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).Semua konflik seringkali
dipandang sebagai pencapaian tujuan satu pihak dan merupakan kegagalan
pencapaian tujuan pihak lain. Hal ini karena seringkali orang memandang tujuannya
sendiri secara lebih penting, sehingga meskipun konflik yang ada sebenarnya
merupakan konflik yang kecil, seolah-olah tampak sebagai konflik yang besar.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
suatu pertentangan dalam bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol,
tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka antara dua
pihak atau lebih yang saling tergantung satu sama lain yang sama-sama merasakan
tujuan yang saling tidak cocok, kelangkaan sumber daya dan hambatan yang
didapat dari pihak lain dalam mencapai tujuannya.
JENIS dan SUMBER
KONFLIK
Jenis Konflik
Menurut Dahrendorf,
konflik dibedakan menjadi 6 macam :
§
Konflik peranan yang terjadi di dalam diri sendiri (person-role
conflict)
§
Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar
gank).
§
Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi
melawan massa).
§
Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).
§
Konflik antar atau tidak antar agama.
§
Konflik antar politik.
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima
jenis konflik yaitu:
Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya
sendiri.Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua
keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.Sebagaimana diketahui bahwa
dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang
bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong
peranan-peranan dan kebutuhan- kebutuhan itu terlahirkan.
3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di
antara dorongan dan tujuan.
4. Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang
menghalangi tujuantujuan yang diinginkan.
Ada 3 macam bentuk
konflik intrapersonal yaitu :
1.
Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan
yang sama-sama menarik.
2.
Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua
pilihan
yang sama menyulitkan.
3.
Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu
hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan
orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan.Hal ini sering
terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan
lain-lain.
Konflik antar individu-individu
dan kelompok-kelompok
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi
tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh
kelompok kerja mereka.Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu
dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma
produktivitas kelompok dimana ia berada.
Konflik antara kelompok dalam
organisasi yang sama
Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam
organisasiorganisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja –
manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok.
Konflik antara organisasi
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan
negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya
disebut dengan persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah
menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan
servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih
efisien.
Sumber Konflik
- Kebutuhan untuk membagi sumber daya yang terbatas
- Perbedaa-perbedaan dalam berbagai tujuan
- Saling ketergantungan dalam kegiatan-kegiatan kerja
- Perbedaan nilai-nilai atau presepsi
- Kemandirian organisasional
- Gaya-gaya individual
PENYELESAIN KONFLIK
Cara-Cara Mengatasi Konflik
Mengatasi konflik antara pihak-pihak yang
bertikai tergantung pada kemauan pihak-pihak yang berkonflik untuk
menyelesaikan masalah. Selain itu juga peran aktif dari pihak luar yang
menginginkan redanya konflik. Berikut adalah cara-cara untuk mengatasi konflik
yang telah terjadi :
1. Rujuk,Merupakan usaha pendekatan demi terjalinnya
hubungan kerjasama yang lebih baik demi kepentingan bersama pula.
2.
Persuasi,Mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukan kerugian yang
mungkin timbul, dan bukti factual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita
menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
3.
Tawar-menawar,Suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh
kedua belah pihak dengan mempertukarkan kesepakatan yang dapat diterima.
4.
Pemecahan masalah terpadu,Usaha pemecahan masalah dengan memadukan
kebutuhan kedua belah pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan
kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya
dengan merumuskan alternative pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang
berimbang bagi kedua pihak.
5.
Penarikan diri,Cara menyelesaikan masalah dengan cara salah
satu pihak yang bertikai menarik diri dari hubungan dengan pihak lawan konflik.
Penyelesaian ini sangat efisien bila pihak-pihak yang bertikai tidak ada
hubungan. Bila pihak-pihak yang bertikai saling berhubungan dan melengkapi satu
sama lain, tentu cara ini tidak dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik.
6.
Pemaksaan dan penekanan,Cara menyelesaikan konflik dengan cara memaksa
pihak lain untuk menyerah. Cara ini dapat dilakukan apabila pihak yang
berkonflik memiliki wewenang yang lebih tinggi dari pihak lainnya. Tetapi
bila tidak begitu cara-cara seperti intimidasi, ancaman, dsb yang akan
dilakukan dan tentu pihak yang lain akan mengalah secara terpaksa.
MOTIVASI
Motivasi adalah keadaan dalam
pribadi sesorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.Motivasi bukanlah sesuatu
yang dapat diamati,tetapi merupakan hal yang dapat disimpulkan adanya karena
sesuatu perilaku yang tampak.
Motivasi merupakan masalah kompleks
dalam organisasi karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi
adalah berbeda-beda dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda
pula.Motivasi dapat ditimbulkan baik oleh factor internal maupun eksternal
tergantung darimana suatu kegiatan dimulai.
Kebutuhan dan keinginan yang ada
dalam diri seseorang akan menimbulkan motivasi internal.Begitu juga dalam suatu
organisasi,setiap individu akan mempunyai kebutuhan dan keinginan yang berbeda
dan unik.Penggolongan motivasi internal yang dapat diterima secara umum belum
mendapat kesepakatan para ahli,namun demikian para psikolog menyetujui bahwa
motivasi internal dapat di kelompokkan menjadi
2 kelompok,yaitu:
1.
Motivasi
Fisiologis,yang merupkan motivasi alamiah (biologis) seperti lapar.
2.
Motivasi
Psikologis,dapat dikelompokkan dalam 3 kategori dasar,yaitu:
§
Motivasi kasih saying
(affectional motivation),yaitu motivasi untuk menciptkan dan memelihara
keharmonisan.
§
Motivasi
mempertahankan diri (ego-defensive motivation),yaitu motivasi untuk melindungi
kepribadian dan mendapatkan kebanggan diri.
§
Motivasi memperkuat
diri (ego-bolstering motivation),yaitu motivasi untuk mengembangkan kepribadian.
TEORI MOTIVASI
Untuk
memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang
motivasi, antara lain :
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori
motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat
bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1)
kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti
fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem
needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan
bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga
berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang
unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan
tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik
pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia
dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan,
bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut
terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh
Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara
analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti
dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika
konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti
seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini
keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan
terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa
aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat
dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi
juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan
berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil
memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati
rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini,
perlu ditekankan bahwa :
- Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
- Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
- Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis,
namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori
motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat
aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need
for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai
dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh
Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“
Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi,
atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan
hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang
berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa
puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut
McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers)
memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan
tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di
mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena
faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan
balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka
yang berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori
Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer
merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan
pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika
makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama,
secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan
oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan
hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan
hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”
mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori
Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan
tampak bahwa :
- Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
- Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
- Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya
pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi
obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada
hal-hal yang mungkin dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan
ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi
Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari
motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut
teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong
berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri
seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan
adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar
diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut
Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah
pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan
dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau
pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik
5. Teori Keadilan
Inti
teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan
kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan
yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa
imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
- Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
- Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam
menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal
sebagai pembanding, yaitu :
- Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
- Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
- Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
- Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan
hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas
di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan
timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka
akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan,
tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam
penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan
pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke
organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin
Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan
mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d)
tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan
berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor
H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan
suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi
merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan
yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan
dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu.
Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di
kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan
ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian
kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya
serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya
itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para
pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi
cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai
teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai
model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan
persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya
pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal
dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan
tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut
berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam
hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan
bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi
yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku
yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh
yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya
dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari
atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena
juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong
bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha
meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga
kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai
konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh
sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat
teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi
indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi
negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu
datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam
arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus
menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut
model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal
adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c)
harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g)
prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c)
organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar